JATIM MEMANGGIL - Matahari belum sepenuhnya tinggi saat halaman Makam Syekh Ibrahim Asmaroqondi sesepuh wali dari wali sanga ini mulai dipenuhi suara lirih doa dan aroma ketupat yang dibawa dari berbagai penjuru Dusun Gesik.

Di tempat sakral itulah, warga memulai sebuah perjalanan yang tak sekadar ritual tahunan, tapi bagian dari upaya menjaga warisan yang diwariskan turun-temurun.

Tradisi Dus-Dusan, yang digelar setiap Lebaran Ketupat, tak pernah sepi. Ratusan warga hadir, sebagian dengan anak kecil, sebagian lainnya menggandeng orang tua mereka.

Setelah doa bersama dan makan ketupat, mereka berarak ke pantai. Bukan untuk rekreasi semata, tetapi untuk berendam dalam laut yang diyakini bisa membersihkan diri dan menolak bala.

Ini bukan hanya mandi laut, tapi tentang menyatu dengan doa dan harapan, tutur Sukardi, Kepala Dusun Gesik, yang sejak muda telah terlibat menjaga tradisi ini.

Sebagai Ketua Yayasan Makam Syekh Maulana Ibrahim Asmaroqondi, Sukardi merasa punya tanggung jawab moral. Baginya, Dus-Dusan adalah wajah dari kearifan lokal yang tidak boleh pudar meski zaman berubah.

Anak-anak sekarang kadang lebih ingat main gadget daripada tradisi. Tapi lewat momen ini, mereka bisa ikut merasakan, melihat, dan nanti akan mengerti pentingnya menjaga akar budaya, jelasnya.

Tradisi ini memang penuh makna. Ketupat yang dibawa warga bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol kesucian, kepasrahan, dan rasa syukur. Disantap bersama, menjadi lambang kebersamaan yang semakin langka di era individualisme.

Nila, seorang ibu muda, mengaku selalu menyempatkan diri datang. Ia ingin anaknya tumbuh mengenal tradisi leluhur.

Anak saya mungkin belum paham, tapi saya yakin, dengan sering diajak, lama-lama dia akan merasa ini bagian dari hidupnya, ujarnya.

Laut yang menjadi tempat berendam warga pagi itu seolah menjadi saksi bisu. Ia menyambut tiap tubuh yang masuk, membawa harapan dan keinginan agar tahun depan mereka masih bisa kembali.